Sebuah pertanyaan yang sangat berharga tentang cinta pernah disampaikan oleh seorang Badwi kepada Nabi Muhammad -ucapkanlah shalawat untuk beliau- : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum, namun tidak berjumpa dengan mereka?”
Nabi saw. menjawab, “Seseorang akan bersama siapa yang dicintainya, pada Hari Kiamat.”
Riwayat tentang hadits Badwi yang bertanya tentang cinta ini, menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim ِmencapai derajat mutawatir melalui banyak jalur sehingga hadits ini tidak diragukan kesahihannya. Orang-orang beriman sungguh berbahagia dengan hadits ini. Karena, mereka akan dikumpulkan kelak pada Hari Kiamat bersama siapa yang mereka cintai.
Ibnul Qoyyim pernah memberikan keterangan yang membantu kita memahami makna kalimat, “Seseorang bersama siapa yang dicintainya pada Hari Kiamat” dalam satu kitab fenomenal karya beliau :Ighotsatul Lahfan min Mashoyidis Syaithon yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Al-Qowam dengan judul Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya Setan.
Beliau mengemukakan bahwa di akhirat kelak, seseorang akan dikumpulkan bersama benda-benda dan orang-orang yang dicintainya. Jika kecintaan itu dalam keridhaan Allah, maka kebersamaan tersebut dalam kenikmatan dan rahmat dari Allah di Surga. Namun, jika kecintaan tersebut dibangun di atas landasan yang tidak diridhai oleh Allah, maka kebersamaan itu kelak dalam siksa di neraka.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mencontohkan tentang seseorang yang semasa di dunia sangat mencintai harta kekayaannya. Ia senantiasa terobsesi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tenaga, fikiran, dan daya upaya dikerahkannya untuk berburu harta sehingga banyak kewajiban kepada Allah dilalaikan. Seringkali ia menzalimi orang lain, mengambil harta yang haram, dan melakukan hal-hal yang diharamkan syariat, demi mendapatkan harta. Ia juga menggunakan harta untuk bermegah-megahan dan bersenang-senang dalam kemaksiatan. Zakat yang merupakan kewajiban dan sekaligus rukun Islam ketiga, tidak dia tunaikan. Maka, kelak, Allah SWT. mengumpulkan orang semacam ini dengan hartanya pada Hari Kiamat setelah mengubah harta tersebut menjadi seekor ular cobra yang selalu menggigit sambil berkata, “Akulah hartamu! Akulah barang-barang simpananmu!”
Adapun Si Badwi menjadi contoh tentang orang yang cintanya diridhoi oleh Allah. Ia mencintai Nabi saw. serta Abu Bakar, Umar, dan para sahabat lainnya. Namun, ada jarak memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya. Jika Rasulullah saw. dan para sahabat tinggal di Madinah, Si Badwi hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain. Jarang sekali ia memiliki kesempatan berjumpa dengan Nabi saw. dan para sahabat. Karena itu, ilmunya teramat sedikit dibandingkan orang-orang yang dicintainya. Kualitas sholat dan puasanya jauh dari kesempurnaan. Dalam hal budi pekerti, ia pernah terkena marah sahabat Nabi saw. karena berteriak-teriak, “Hei Muhammad!” dan bersikap kurang sopan sesaat sebelum menyampaikan pertanyaan kepada beliau.
Salah satu riwayat menyebutkan, ia ditanya oleh Rasulullah saw. : “ِApa yang telah kau persiapkan untuk menghadapi Kiamat?”
Jawabnya, “Tidak banyak sholat dan puasa yang aku siapkan. Tetapi, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Maka, beliau menjawab, “Engkau bersama siapa yang engkau cintai.” Atau dalam riwayat lain, “Seseorang dikumpulkan bersama siapa yang dicintainya, pada Hari Kiamat.”
Maka, seseorang akan dikumpulkan dengan semua kekasih, kesayangan, dan kesukaannya. Namun, apakah kebersamaan tersebut dalam kenikmatan? Jawabnya mungkin ya, mungkin tidak. Tergantung siapa dan apa yang dia cintai. Juga bagaimana ia mencintai.
Maka, perlu sesekali kita bertanya, bukan kepada orang lain, tetapi kepada diri sendiri, kepada jiwa yang dibalut oleh kulit dan daging kita sendiri : Siapa yang engkau cintai? Apa yang engkau cintai? Apakah cinta itu termasuk cinta yang selaras dengan ridha Allah? Apakah jika hati yang ada di dada kita ini dibelah, ada kecintaan kepada Allah, Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan para sahabat lain, serta orang-orang shalih sesudah mereka? Jika jawabnya ya, maka semoga Allah memberi kita keistiqomahan hingga akhir hayat untuk mampu mempertahankan cinta yang diridhai oleh Allah ini.
Na’udzu billah, jangan sampai sebaliknya. Hati kita seperti mereka yang hatinya dipenuhi kebencian kepada orang-orang shalih dan kecintaan kepada para pelaku kemusyrikan, kekufuran, dan kemaksiatan. Sungguh, jika demikian, tak terbayangkan betapa berat hari yang kita hadapi manakala kita dikumpulkan dengan orang-orang yang kita cintai itu. Kesabaran saat itu tiada guna. Karena tempat berkumpul bersama orang-orang musyrik, kafir, dan fasik saat itu bukan di restoran, tempat hiburan, atau kawasan wisata yang menyenangkan, melainkan di neraka yang berbahan bakar batu dan manusia.
Semoga, kita dikaruniai kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai Allah, dan kecintaan kepada perbuatan yang mengantarkan kita kepada rasa cinta kepada Allah, agar kita dikumpulkan bersama mereka kelak di Hari Kiamat. Dalam kenikmatan dan kasih sayang-Nya. Di surga-Nya, insya Allah. Wallahu a’lam.
http://darulwahyain.wordpress.com/2009/11/14/bersama-yang-engkau-cintai/
Rabu, 15 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
nice, syukron :')
Syukron tambah wawasan
Posting Komentar